Saturday, October 16, 2010

5 Tabiat Eksekutif yang Gagal

Menjadi eksekutif atau manajer jelas bukanlah pekerjaan mudah. Di tangan ereka terletak masa depan perusahaan beserta seluruh stakeholdernya. Itu sebabnya, Anda janganlah terlalu bersengan hati bila dipercaya menjadi CEO, Direktur atau bahkan manajer. Salah-salah malah anda membuat perusahaan terjerembab, jatuh bangkrut, merugi, menghilangkan lapangan pekerjaan bagi karyawan, dan seterusnya. Reputasi anda sebagai professional pun bakal tercoreng.




  • Hasil penelitian oleh Tim Riset Tuck School of Business, Darmouth (dibawah pimpinan Sydney Finkelstein), terhadap berbegai kegagalan bisnis di sejumlah Negara maju menunjukkan betapa kegagalan perusahaan lebih banyak ditentukan oleh rendahnya kualitas personal pemimpin. Repotnya, kualitas personal ini terkait denagn kualitas personal yang mengagumkan dari para pemimpin itu sendiri. Kebanyakan penghancur perushaan adalah orang-orang yang memiliki kecerdasan dan talenta luar biasa. Mereka selalu tampil menarik, mempertontonkan daya tarik personal, dan menginspirasikan orang lain. Foto wajah mereka sering menghiasi majalah-majalah bisnis kelas dunia macam Forbes, Fortune, Business Week, dan sebagainya.
    Dari penelusuran terhadap daftar eksekutif perusahaan yang gagal, mulai dari perusahaan Rubbermaid hingga Enron, Wang Labs, Sony, dan Samsung, tim riset ini berhasil merumuskan 7 tabiat eksekutif yang gagal tersebut. Tabiat ini harus menjadi catatan oleh seluruh jajaran perusahaan, dari manajer hingga CEO.

    Tabiat 1 Mereka melihat diri dan perusahaan mereka mendominasi lingkungannya.
    Seorang eksekutif harus memiliki ambisi besar dan bertindak proaktif utnuk sukses, namun dasar dari tindakannya itu harus didasarkan pada filosofi yang tepat. Pemimpin sukses bertindak proaktif karena mereka menyadari bahwa mereka tidak mendominasi lingkungan. Mereka tahu,betapapun suksesnya di masa lalu, mereka tetap berhadapan dengan lingkungan yang terus berubah. Mereka harus terus meluncurkan inisiatif baru karena mereka tidak mampu menjamin segala sesuatu terjadi sesuai harapan. Perencanaan perushaan harus senantiasa disesuaikan dan ditinjau ulang.

    Pemimpin yang melihat diri dan perusahaan merea mendominasi lingkungan melupakan hal ini. Mereka sngat yakin dengan kemampuan mereka mengontrol apa yang akan terjadi dan mengabaikan peran kesempatan dan keadan terhadap keberhasilan mereka. Mereka berpikir mampu mendiktekan kehendak mereka terhadap lingkungan. Mereka merasa bahwa kesuksesan diri dan perusahaan mereka karena mereka membutnya terjadi.

    Tabiat 2 Tidak ada batas antara kepentingan pribadi dengan kepentingan perusahaan.
    Kemampuan eksekutif untukmengidentifikasi kepentingan perushaan secara mendetil bisa menyebabkan mereka mengambil keputusan yang tidak bijak. Selain memperlakukan perusahaan sebagai sesuatu yang perlu mereka besarkan dn lindungi, para CEO yang mengidentifikasi kepentinganperusahaan terlalu banyak bisa memperlakukan perusahaan sebagai kepanjangan diri mereka. Mereka mengakibatkan perusahaan melakukan sesuatu yang masuk akal bagi dirinya, namun belum tentu masuk akal bagi perusahaan. Mereka seakan akan bertindak sebagai pemilik perusahaan dn berhak melakukan apa saja dengan mengatas namakan kebaikan perusahaan. Padahal, sebenarnya lebih untuk kepentingan pribadinya.
    Eksekutif semacam ini memiliki mentalitas untuk memanfaatkan perusahaan demi mewujudkan ambisi pribadinya, kendatipun hal itu bukanlah cara terbaik mencetak laba. CEO Samsung Kun-Hee Lee memutuskan untuk memasuki bisnis otomotif lebih karena ia menyukai mobil. Saatchi bersaudara terus memperbesar perusahaannya, tanpa peduli apakah hal itu menghasilkan laba, namun lebih karena ego ekspansi pribadinya.

    Tabiat 3 Mereka kira memiliki semua jawabannya
    Sulit sekali untuk tidak menjadi terkesan terhadap pemimpin bisnis yang tahu mendetil segala sesuatu yang penting. Mereka mudah sekli membuat situasi yang rumit ke dalam suatu hal yang masuk akal. Di luar semua itu, mereka diberi kelebihan mampu membuat keputusan dalam situasi apapun.
    Wajar bila kemudian, media masa dan public mengagumi mereka. Mereka adalah eksekutif-eksekutif yang mampu mengambil lusinan keputusan dalam satu menit, menyampaikan perintah-perintah yang berdampak besar bagi perusahaan, mampu menghadapi krisis berkali-kali, dan mampu mencerna situasi dalam satu detik yang bagi orang lain butuh waktu berhari-hari melakukannya. Di level yang lebih tinggi dalam perusahaan, mereka adapah prototype eksekutif yang hebat dan perlu ditiru. Mereka dianggap figure ideal yang selalu memiliki banyak jawaban terhadap segala permasalahan, dan mampu memberikan jawaban tersebut secepat pertanyaan diajukan.
    Apa yang terjadi terhadap gambaran eksekutif semacam ini sebetulnya adalah sebuah penipuan. Dalam kondisi bisnis dunia yang terus berubah dengan capat dan hanya inovasilah yang benar-benar berlangsung konstan, tak seorangpun yang memiliki jawaban untuk periode yang panjang. Pemimpin yang selalu membuat keputusan cepat tidak melakukan kesempatan untuk melakukan pendalaman. Hal ini sangat bruk, karena mereka sudah memiliki jawaban, tanpa pernah belajar utnuk menemukan jawaban baru. Insting mereka, sesuatu yang seringkali sangat penting, selslu mendorong penyimpulan yang cepat, tidak memungkinkan periode ketidakpastian, termasuk saat ketidakpastian itu sesuatu yang benar apa adanya.
    Orang-orang di sekitar CEO kadang-kadang mendorong kebiasaan pengambil keputusan yang cepat ini. Mereka inginmengikuti pemimpin yang selalu punya jawaban. Padahal, hal semacam ini justru menjerumuskan perusahaan ke dalam kesulitan.

    Tabiat 4 Mereka dengan kasar mengganti orang-orang yang tidak 100% mendukung.
    CEO dengan visi hebat meyakini bahwa bagian utama dari pekerjaannya adalah menanamkan keyakinan terhadap visi itu ke seluruh jajaran perusahaan, mengajak siapa saja untuk bekerja bersama mewujudkan visi tersebut. Bila seorang manajer tidak menunjukkan dukungan penuh, CEO akan merasa visinya diabaikan. Pada gilirannya, sang CEO akan meminta si manajer untuk mendukung rencananya atau pergi. Inilah tabiat yang ditunjukkan oleh Roger Smith di GM, Jill Barad di Mattel, Bill Farley di Fruit of the Loom, Wolfgang Smith di Rubbermaid, dan lainnya.
    Sesungguhnya tindakan CEO semacam ini tidak perlu dan bersifat merusak. CEO tidak butuh setiap orang dalam perusahaan mengiyakan saja apa yang disampaikannya. Perbedaan itu justru bisa menyempurnakan visi tersebut sehingga mereka mampu mengatasi masalah pada saat masalah itu muncul kelak.

    Tabiat 5 Menjadi juru bicara perusahaan, terobsesi dengan citra perusahaan
    Pemimpin dalam kategori ini adalah eksekutif yang high profile, ingin selalu ada di depan public. Mereka menghabiskan banyak waktu dengan memberikan pidato public, tampil di TV, diwawancarai wartawan, membangun karisma luar biasa. Mereka brilian sekali menginspirasikan kepercayaan terhadap public, karyawan, pencari kerja potensial, dan utamanya para investor.

    No comments:

    Post a Comment